Google

Friday, September 28, 2007

Mengkaji Konsep Kausalitas al-Ghazzali

Hamid Fahmy Zarkasyi

Konsep kausalitas al-Ghazzali menjadi populer karena ia merupakan bagian (masalah ke-17) dari Tahafut al-Falasifah. Di situ ia menyatakan bahwa "Apa yang selama ini dianggap hubungan sebab dan akibat bagi kami adalah tidak pasti (ghayr dharuri)." Karena penolakannya terhadap kepastian hukum kausalitas itu maka Ibn Rusyd menuduhnya telah menolak ilmu pengetahuan, sebab katanya sumber ilmu pengetahuan adalah kausalitas.
Kritikan Ibn Rusyd terhadap Tahafut al-Falasifah dalam Tahafut Tahafut khususnya dalam soal kausalitas diamini oleh beberapa cendekiawan Muslim kontemporer. Tak pelak lagi al-Ghazzali pun dituduh sebagai biang keladi kemunduran sains dan filsafat dalam Islam. Padahal disertasi doktor Michael Marmura telah membuktikan bahwa Ibn Rusyd salah paham terhadap al-Ghazzali. Malangnya kesalahpahaman ini dipakai lagi untuk menyimpulkan bahwa pemikiran Ibn Rusyd di ambil Barat sehingga Barat menjadi maju, sedangkan pemikiran al-Ghazzali diambil oleh umat Islam sehingga mundur.
Kenyataannya, pemikiran al-Ghazzali yang menyatakan bahwa hukum kausalitas itu tidak pasti, justru diambil dan dikembangkan oleh Malebranche dan David Hume di Barat. Sedangkan metode skeptiknya serta prinsip-prinsip epistemologinya dimodifikasi oleh Descartes. Sementara itu pemikiran Ibn Rusyd yang diambil Barat adalah teori kebenaran gandanya. Teorinya itu menurut teolog neo-Thomist, Etienne Gilson, menjadi akar rasionalisme di Barat. Tapi pada saat yang sama dipakai para deis untuk menentang wahyu, dan memberi sumbangan kepada lahirnya sekularisme.
Berbeda dari Ibn Rusyd, al-Ghazzali membawa konsep integrasi fisika dan metafisika, sains dan teologi atau agama dan sains. Ini jika konsep al-Ghazzali itu dipahami dengan 'paradigma' yang berbeda dari Ibn Rusyd, tapi bukan dengan teori paradigma Thomas Kuhn. Paradigma atau framework untuk memahami konsep kausalitas al-Ghazzali teori worldview (pandangan hidup atau pandangan alam). Framework ini telah diaplikasikan al-Attas dalam konsep Islamisasinya atau Alparslan dalam memahami konsep sains Islam. Di Barat, konsep ini digunakan Thomas F Wall untuk kajian filsafat, dan Niniat Smart untuk perbandingan agama. Yaitu dengan mengkaji suatu konsep dalam kaitannya dengan keseluruhan konsep yang terstruktur.
Dengan framework ini posisi al-Ghazzali menjadi jelas, bahwa ia melihat kausalitas pada realitas fisik sebagai bagian dari realitas metafisik. Bahkan realitas makhluk yang relatif itu tergantung kepada realitas metafisik yang absolut. Al-Ghazzali membela konsep Tuhan Maha Pencipta. Proses penciptaan-Nya tertuang dalam Asma al-Husna, yaitu al-Khaliq, al-Bari, al-Musawwir. Karena itu kausalitas pada alam semesta ini, meskipun telah ditentukan sejak awal penciptaannya, ia tetap tergantung pada Kehendak Tuhan dan tidak berjalan sendiri secara alami. Ini berseberangan dengan para filsuf yang membela konsep emanasi, di mana hubungan Tuhan-makhluk bukan dengan perantaraan aksi (fi'il) Tuhan tapi melalui proses emanasi yang pasti (necessary) dan hukum kausalitas pada fenomena alam inipun akhirnya berjalan sendiri secara pasti.
Bantahan al-Ghazzali terhadap kepastian hukum kausalitas bukan tanpa alasan. Sebab kepastian bentuk hubungan (wajh al-iqtiran) sebab-akibat itu tidak dapat dibuktikan secara empiris. Yang ada hanya pengalaman bahwa setiap ada sebab biasanya diikuti oleh akibat (nafs al-iqtiran). Inilah yang ditiru oleh David Hume. Tapi, berbeda dari Hume, al-Ghazzali menganggap apa yang kita saksikan sebagai kebiasaan ('adah) sebab-akibat ini tunduk pada kehendak Allah.
Posisi al-Ghazzali dalam masalah ini berada di antara mutakallimun dan falasifah. Al-Ghazzali menggunakan teori jawhar (atom) para mutakallimun (Asy'ariyyah dan Mu'tazilah). Segala benda dan makhluk di dunia ini terdiri dari substansi (jawhar) dan aksidensi ('ard). Dan semua itu diciptakan Allah secara terus menerus (dawam al-khalq wa al-in'idam). Tapi ia tidak sependapat dengan mutakallimun yang menolak adanya kausalitas. Al-Ghazzali justru sepakat dengan falasifah bahwa di alam semesta ini terdapat hukum kausalitas. Hanya saja ia tidak sependapat dengan falasifah yang mengatakan bahwa hubungan sebab dan akibat (kausalitas) dalam alam semesta ini adalah pasti. Di mana ada sebab pasti di situ akan ada akibat. Setiap api (sebab) pasti membakar (akibat). Bagi al-Ghazzali ini akan membatasi kekuasaan Tuhan. Artinya dengan mengetrapkan konsep Aristotle ini maka hubungan antara alam semesta dengan Tuhan menjadi tidak langsung. Tuhan tidak mempunyai peran langsung dalam mengatur kejadian alam yang berupa sebab akibat ini. Dengan teori ini berarti hukum-hukum alam ini berjalan sendiri tanpa peran langsung Tuhan.
Pandangan falasifah sejalan atau bahkan dapat dikatakan berasal dari konsep emanasi di mana Tuhan sebagai Sebab Pertama dan Makhluk sebagai akibat berkaitan secara pasti. Dari Penyebab Pertama ke akal pertama hingga akal ke sepuluh merupakan kaitan serial yang pasti (necessary). Namun, dalam teori ini akhirnya Tuhan tidak lagi berkaitan langsung dengan dunia materi, termasuk dalam menentukan hubungan kausalitas.
Kajian tentang perdebatan al-Ghazzali dan para falasifah ini tidak dapat didekati dalam perspektif jadali. Ia lebih tepat didekati dengan teori atau framework worldview. Dengan menggunakan falasifah ini, konsep kausalitas al-Ghazzali ditelusuri dari konsepnya tentang Tuhan, yang merupakan realitas Absolut, konsep alam, konsep manusia dan konsep ilmu. Kesemuanya itu diperlukan sebagai matrik perbedaan.
Dari matrik ini maka dapat diketahui bahwa dalam konsep al-Ghazzali kausalitas di dalam realitas fisik dilihat dalam kaitan dengan realitas metafisik. Bahkan kausalitas di dunia fisik sebagai bagian dari kausalitas dalam realitas metafisika. Jika demikian maka ilmu pengetahuan tentang fenomena fisik yang empiris tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan metafisik. Ini berarti bahwa sains merupakan bagian dari teologi. Inilah landasan dari teori kausalitas al-Ghazzali yang secara diametris bertentangan dengan pandangan sains Barat modern yang terpisah dari metafisika (teologi).
Tapi dapatkah kita memperoleh pengetahuan dari hukum kausalitas yang mungkin dikaitkan dengan realitas metafisika. Menurut al-Ghazzali dapat, sebab ia memiliki prinsip integrasi bahwa setiap ilmu pengetahuan agama adalah rasional dan setiap pengetahuan rasional adalah religius. Dalam proses epistemologinya ia menggunakan metode demonstrasi (al-burhan) para filsuf yang ia modifikasi agar sejalan dengan prinsip-prinsip kausalitasnya. Walhasil, pengetahuan yang diperoleh dari kausalitas dalam fenomena alam itu tidak pasti (daruri/necessary), tapi hanya sebatas "tentu" (certain). Jadi tuduhan Ibn Rusyd bahwa al-Ghazzali menolak ilmu pengetahuan ternyata tidak benar.

Tuesday, September 25, 2007

Perjalanan Hidup adalah berdasarkan Keseimbangan Alam


Kalo kita pikir, segala sesuatu ini bagai roda yang berputar. Terkadang peristiwa yang terjadi selalu hampir sama, berulang sifatnya. Yang membedakan adalah tempat terjadinya dan waktu yang tidak bisa di putar balik. Jika kita lebih cermat mengamati apakah yang kita anggap sial atau terjadinya masalah, pada dasarnya adalah akibat dari sesuatu yang pernah kita lakukan sebelumnya. Dapat pada hari yang sam atau dimasa lalu. Tanpa bermaksud melompat kepada kesimpulan yang prematur, saya mengatakan bahwa kita sebagai manusia masuk dalam lingkaran 'sebab dan akibat'. Kejayaan atau kesuksesan saat ini yang didapat seseorang, karena kerja keras dia di masa sebelumnya. Demikian pula, malangnya nasib karena malasnya untuk berusaha di masa sebelumnya. Dari sisi religi, hal ini banyak disinggung dan dikuatkan, misalnya salah satu ayat yang menyatakan bahwa 'tidak akan berubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak mereka sendiri yang mengubahnya'. Beberapa ahli fisika juga menemukan formula ini melalui beberapa teori kesimbangan, sebab-akibat, dan yang menghebohkan adalah teori relativitas Einstein.

Orang Tiongkok yang memilik umur kebudayaan paling tua di Jagad inipun telah menyadari bahwa segala kebaikan itu pasti akan berbuah kebaikan, atau mereka mengharapkan kemakmuran dari sisi ekonomi. Budaya memberi uang di hari-hari religi mereka adalah salah satu harapan akan perbaikan naik ekonomi mereka.

Blog Archive